makalah hukum perburuhan


Nama              : R. Heru Notodewo
N.P.M             : 08080057
Semester       : 4
Mata Kuliah    : Hukum Perburuhan
Dosen             : Gamal Muaddi S.H.,M.H
“Perusahaan Retail: Mencari Laba dengan Budaya Loyalitas Buruh”
Kasus Posisi
            Populernya bisnis retail antara perusahaan yang satu dengan yang lain sebagai competitor, mendorong para pengusaha memperluas ruang lingkup daerah bisnisnya dengan segala usaha-usaha yang lebih variatif, inovatif efektif dengan tetap mengedepankan motif ekonomi, mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan modal yang minimal. Buruh/tenaga kerja merupakan salah satu modal bagi setiap perusahaan yang juga merupakan elemen penting agar perusahaan tetap berjalan. Dengan demikian, hubungan yang harmonis antara pengusaha dan buruhpun harus tercipta agar produktivitas buruh yang mempengaruhi kelancaran usaha dapat tercapai.
            Namun yang terjadi sekarang ini adalah terdapat hak-hak yang dilanggar oleh para pengusaha yang terlena dengan tujuan pokok usahanya (laba), seperti adanya keharusan para buruh untuk bekerja diluar jam kerja yang telah ditetapkan tanpa adanya upah lembur. Tidak tanggung-tanggung mereka (para buruh) diharuskan bekerja hingga 4 jam diluar jam kerja yang seharusnya yaitu mulai bekerja pada pukul 07.00 wib-19.00 wib (bagi yang masuk pagi) dan 13.30 wib-23.30 atau 24.00 wib. Peran Serikat pekerja yang ada, tidak memberi pengaruh yang nyata, karena serikat  pekerja tersebut merupakan komunitas Black List perusahaan dalam artian yang menjadi anggota akan mendapat jabatan baru yaitu buruh Black List, bahkan serikat pekerja tersebut juga merupakan bentukan dari perusahaan yang artinya merupakan kaki tangan dari pengusaha untuk melindungi posisinya. Apabila buruh menuntut, maka yang terjadi adalah tekanan yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan pada akhirnya buruh dipaksa untuk mengundurkan diri/resign atau dipersulit.
Dasar Hukum
Ø  1602. Majikan wajib membayar upah buruh pada waktu yang ditentukan. (KUHPerd. 1601o-r, 1603p nomor 3; F. 232.)
Ø  1602c. Akan tetapi buruh berhak untuk meminta dan menerima upah, yang ditetapkan menurut lamanya buruh bekerja, untuk waktu yang tidak begitu lama, bila ia berhalangan melakukan pekerjaan karena sakit atau mengalami kecelakaan, kecuali bila sakitnya atau kecelakaan itu disebabkan oleh kesengajaan atau kebejatannya atau oleh cacat badan yang dengan sengaja diberi keterangan palsu pada waktu membuat perjanjian kepada majikan. (KUHPerd. 1244 dst.) (s.d.u. dg. S.1939-256, 292.) Bila dalam hal demikian buruh berhak memperoleh suatu ganti rugi berdasarkan suatu peraturan undang-undang tentang hal sakit atau kecelakaan, atau menurut aturan pertanggungan, atau dari suatu dana yang telah dijanjikan atau lahir dari perjanjian kerja, maka jumlah uang upah itu harus dikurangi dengan jumlah uang ganti termaksud, (KUHPerd.1601s; S. 1939-255, 256 dan 693 jo. Undang-undang Kecelakaan No. 3/1951 dan PP No. 3/1915.) Buruh berhak menuntut jangka waktu pendek, yang ditetapkan menurut keadilan, bila ia, baik karena memenuhi kewajiban yang diletakkan padanya oleh undang-undang atau pemerintah tanpa penggantian berupa uang, dan tidak dapat dilakukan di luar waktu kerja, maupun karena mengalami kejadian-kejadian luar biasa di luar kesalahannya, terhalang melakukan pekerjaannya. (KUHPerd. 1602u.) Dalam pengertian kejadian luar biasa, untuk pasal ini, juga termasuk istri buruh melahirkan anak; pula meninggalnya dan penguburan salah seorang teman serumah atau salah seorang anggota keluarga dalam garis tak terbatas dan dalam garis ke samping derajat kedua. Sedangkan dalam pengertian memenuhi kewajiban yang diletakkan oleh undang-undang atau Pemerintah, termasuk hal melakukan hak pilih. (KUHPerd. 290 dst.) Jika upah berupa uang ditetapkan secara lain menurut jangka waktu, maka ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku juga, dengan pengertian, bahwa sebagai upah harus diambil upah rata-rata yang seharusnya dapat diperoleh buruh seandainya ia tidak berhalangan melakukan pekerjaan. Tetapi upah itu harus dikurangi dengan jumlah biaya yang telah dapat dihemat selama buruh tidak mengerjakan pekerjaan. Dari ketentuan-ketentuan pasal ini, orang hanya boleh menyimpang dengan perjanjian tertulis atau suatu peraturan. (KUHPerd. 1601j; KUHD 412, 416h.)
Ø  1602d. Juga buruh tidak kehilangan haknya atas upah yang ditentukan menurut jangka waktu, jika ia telah bersedia melakukan pekerjaan yang dijanjikan, tetapi majikan tidak menggunakannya, baik karena salahnya sendiri, maupun karena halangan yang kebetulan terjadi mengenai dirinya pribadi. Ketentuan-ketentuan alinea kedua, kelima, keenam dan ketujuh dalam pasal 1602c, berlaku juga dalam hal ini.
Ø  Pasal 77 ayat
1.    Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
2.    Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a.    7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.    8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
3.    Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4.    Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Ø  Pasal 78
1.    Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a.    ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.    waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
2.    Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
3.    Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4.    Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
5.    Peraturan penjelas pasal 77 Ayat (3) dan pasal 78 Ayat (1) UU no. 13 tahun 2003.
Ø  Pasal 77
Ayat (3)
Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.
Ø  Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.
Ø  Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Ø  Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 64 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pembahasan dan Analisa
            Berdasarkan B.W dan UU no.13 tahun 2003 di atas, jelas sekali bahwa pengusaha yang mempekerjakan buruh di luar jam kerja yang telah ditentukan wajib membayar uang lembur yang telah ditentukan oleh UU no. 13 tahun 2003. Namun yang terjadi adalah tidak dibayarnya hak buruh oleh pengusaha atau perusahaan dan tetap menghendaki buruh untuk melakukan pekerjaan diluar jam kerja tersebut dengan konsekuensi tertentu bila terjadi penolakan dari pihak buruh seperti intimidasi dari pihak perusahaan.
            Berdasarkan KUH Perdata, buruh dibayar upahnya hanya untuk melakukan pekerjaan yang dibebankan oleh perusahaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, baik itu merupakan waktu jenjang ia bekerja maupun waktu yang merupakan batas jam sehari kerja. Dalam pasal 77 Undang-Undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan lagi, bahwa waktu jam kerja buruh secara umum adalah 40 jam total jam kerja dalam seminggu dengan criteria 7 jam bila 6 hari kerja dan 1 hari libur serta 1 jam istirahat atau 8 jam kerja bila 5 hari kerja dan 2 hari libur serta 1 jam istirahat. Dari pasal ini jelaslah bahwa ketentuan waktu kerja buruh adalah 40 jam tidak lebih atau kurang. Bila dianjurkan untuk bekerja lebih dari waktu kerja, maka berlakulah ketentuan dari pasal selanjutnya yaitu pasal 78 UU no. 13 tahun 2003, dengan ketentuan bahwa pekerjaan itu haruslah memenuhi beberapa syarat yaitu:
1.    Adanya persetujuan dari buruh untuk melakukan pekerjaan atau tidak
2.    Waktu kerja diluar jam kerja tidak boleh lebih dari 3 jam sehari atau 14 jam dalam seminggu.
Pada ayat selanjutnya ditegaskan lagi bahwa pengusaha wajib membayar upah kerja lembur bila melebihi jam kerja. Kata wajib merupakan keharusan bagi para pengusaha yang diberikan Negara untuk melindungi hak-hak buruh. Meski demikian, pengusaha yang nakal selalu mencari keuntungan dengan kuasanya untuk tidak membayar atau membayar tidak proporsional, sebagai contoh buruh yang bekerja lembur dibayar 3 jam upah lembur, padahal waktu yang sebenarnya lebih dari yang dibayarkan. Terdapat sanksi yang tegas dari Negara berupa denda bahkan administrasi yang akan dikenakan oleh para pengusaha bila jelas-jelas melanggar dan tertangkap basah. Namun setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi apabila diketahui oleh pihak yang berwajib. Disinilah sebenarnya peran dari alat-alat Negara untuk melakukan pengawasan yang intensif terhadap para pengusaha yang nakal demi tercapainya kesejateraan yang proporsional.
Argumentasi yang digunakan oleh para pengusaha nakal ini biasanya adalah bahwa buruh belum selesai mengerjakan tugas yang seharusnya dituntaskan pada saat jam kerja, meski memang pada kenyataannya tidak sedikit yang seperti itu, namun bagaimana dengan nasib buruh yang memang bekerja secara professional, tanggung jawab, procedural dan disiplin yang tetap mendapat perlakuan yang tidak adil dari pengusaha yang nakal? Meski terdapat sanksi yang diberikan Negara bagi para pengusaha yang nakal tersebut, namun itu hanyalah sekedar wacana. Karena sengketa yang terjadi biasanya justru lebih sering memihak para pengusaha.
Kesimpulan
Pelanggaran yang dilakukan dalam hal waktu kerja buruh oleh perusahaan retail yang terjadi sudah merupakan hal yang telah lama berlangsung, namun buruh sebagai pihak yang lemah karena berada diantara 2 pilihan antara bertahan untuk tetap bisa bekerja dengan berbagai tekanan atau bersikap “vocal” tapi kehilangan pekerjaannya dan akan berdampak sistemik dalam kehidupan mereka. Negara sebagai pihak yang berwenang dalam menengahi sengketa yang terjadi terhadap para warganya, telah membuat rambu-rambu kepada perusahaan yang berada dalam wewenangnya. Meski demikian masih saja terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh para perusahaan nakal seperti adanya waktu kerja lembur yang kurang dihargai. Banyak hal yang menjadi bahan alasan para pengusaha dalam menampik tuntutan buruhnya, seperti dengan alasan demi kebaikan perusahaan yang akan berdampak baik juga terhadap buruh, tapi itu adalah sekedar wacana manis agar buruh dapat menuruti pengusaha.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dengan membuat suatu KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) kadangkala bersifat temporer, karena pasca kesepakatan itu dibuat maka pihak perusahaan yang merasa “gerah” lambat laun melakukan tekanan kepada para buruh yang melakukan kesepakatan tersebut. Tidak aneh jika banyak buruh yang enggan mencari “masalah” dengan pihak perusahaan, sehingga dengan adanya sikap buruh yang lebih memilih jalan “aman”, pihak perusahaan justru menganggap hal itu sebagai hal yang biasa dan tidak membawa efek negative bagi buruh.
Saran
            Oleh karena itu perlu dibuat adanya tim khusus yang independent dalam menangani kasus ini, yang dibentuk oleh Negara melalui alat-alat yang berkompeten di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan. Sehingga dapat meminimalisir pelanggaran yang terjadi dan hak-hak buruhpun dapat dihormati tanpa merugikan pihak pengusaha. Pada akhirnya dapat terciptanya kerjasama yang harmonis antara buruh dan pengusaha yang menyebabkan meningkatnya produktivitas dari kinerja buruh itu sendiri yang akan menguntungkan pihak pengusaha.
Atau dapat juga dilakukan sidak yang dilakukan oleh tim tersebut secara rutin ke perusahaan-perusahaan guna didapat hasil yang obyektif mengenai hubungan buruh dan pengusaha. Karena selama ini yang terjadi adalah Negara hanya menanggapi keluhan yang dialami oleh buruh ketika mendapat laporan dari serikat pekerja saja, padahal tidak sedikit serikat pekerja justru merupakan kaki tangan dari pengusaha atau justru buruh lebih memilih mengambil jalur aman untuk tetap bungkam meski berada dalam situasi yang tidak meng-enak-kan dengan tujuan untuk tetap bisa mendapat penghasilan tiap bulannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar